Review Film Tarian Lengger Maut
Halo! Kali ini Arum akan memberikan review film Indonesia yang berjudul Tarian Lengger Maut. Film yang diproduksi oleh Visinema Pictures ini rilis pada 13 Mei 2021.
Kalau dilihat dari judul dan posternya, Tarian Lengger Maut sepertinya adalah film horor, tapi nyatanya bukan. Genre film ini murni film thriller. Sekalipun ada scene dimana muncul unsur mistis, hal mistis tersebut ya begitu-begitu saja; sesajen bunga yang tiba-tiba tumpah, penari yang sepertinya kesurupan. Hanya sebatas itu.
Latar Belakang Cerita
Film karya sutradara Yongki Ongestu ini adalah film berdurasi panjang yang pertama ia buat. Ia ingin membuat film thriller sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia, yakni tari Lengger.
Tari Lengger berasal dari daerah Banyumas, Jawa Tengah. Tarian ini pada dasarnya dilakukan oleh laki-laki yang didandani seperti perempuan. Kata Lengger berasal dari bahasa Jawa, yaitu ‘le‘ yang artinya ‘laki-laki’ dan ‘geger‘ yang artinya ‘ramai’.
Walau demikian, sang sutradara memilih seorang wanita yang melakukan tarian ini. Memang tidak sesuai dengan siapa seharusnya yang menarikan tari Lengger – laki-laki. Mungkin ia ingin tampil berbeda.
Sekilas Cerita Tarian Lengger Maut
Film ini bercerita tentang seorang psikopat sekaligus dokter yang bernama dr. Jati (Refal Hady). Ia mulai membuka praktik di desa Pagar Alas. Sejak kehadirannya, banyak warga desa yang menghilang secara misterius. Ada warga yang mencurigainya, namun itupun karena dr. Jati dianggap membawa kutukan.
Selain dr. Jati, tokoh utama lainnya adalah seorang penari wanita yang bernama Sukma (Della Dartyan). Ia adalah seorang gadis muda yang akan ‘diangkat’ menjadi Lengger Desa Pagar Alas. Intinya dia akan menjadi penari utama setiap ada penampilan. Penampilan tersebut dilakukan rutin karena desa Pagar Alas menjunjung tinggi nilai budaya tersebut.
Sosok dr. Jati adalah orang yang berpendidikan, tampan, kaya, sopan, dan ramah. Saat sedang ke pasar, Sukma bertemu dengannya dan terus memandangi dr. Jati. Sementara dr. Jati fokus mencari toples tanpa memerhatikan sekitar.
Singkat cerita, Sukma jatuh cinta pada pandangan pertama. Demikian pula dengan dr. Jati. Namun dr. Jati jatuh cinta pada saat Sukma melakukan tarian solo perdananya. Dr. Jati yang awalnya datang menonton karena ajakan warga, akhirnya rajin datang dan menonton penampilan tari dari Sukma.
Namun karena ini bukan film romantis, jadi tidak ada scene dimana mereka berdua saling memikirkan, saling mencari, atau apapun selayaknya orang jatuh cinta. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kalau ketemu ya saling memandang, kalau tidak ketemu ya sudah.

Review Film Tarian Lengger Maut
Alur Cerita
Kalau dilihat dari segi cerita, sebenarnya film ini punya konsep cerita yang cukup menarik. Penari muda yang polos dan cantik bertemu dengan dokter muda yang tampan sekaligus psikopat bermasa-lalu kelam.
Alur ceritanya bisa dikatakan mengalir dengan baik dari awal sampai akhir. Walaupun ada scene flashback ke masa lalu sang dokter, namun tidak mengganggu fokus penonton ke cerita masa kininya.
Ada juga scene bagaimana sang dokter membedah jantung pasiennya yang masih sadar walau sudah dibius. Selain itu, untuk menambah kengerian, scene tersebut dilengkapi dengan suara gergaji mini yang berfungsi untuk memotong rusuk dan suara rintihan korban.
Untuk plot twist terkesan biasa saja. Dibilang tidak terduga juga tidak. Pembangunan cerita, konflik, dan klimaksnya juga biasa. Jadi dengan ending yang diberikan, keseluruhan cerita menjadi masuk akal bagi saya.
Sinematografi
Bagian paling menarik dari film Tari Lengger Maut adalah efek sinematografi yang disajikan. Visual yang diberikan menarik, perpaduan warna misterius – merah, hitam, hijau, kuning keemasan – mampu menonjolkan kesan misterius.
Transisi antar scene juga bagus. Jadi setiap alur cerita bisa tersampaikan dengan baik. Demikian juga dengan audionya, pilihan musik, dan intensitas volume juga dibuat dengan apik.
Karakter dalam Film
Akting pemeran utamanya menurut saya cukup baik. Sayangnya hal itu tidak didukung dengan penulisan naskah yang bagus. Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena apa yang ditonjolkan pada setiap scene adalah visual saja, sehingga pembangunan karakter tidak terasa sama sekali, bahkan terkesan tidak jelas.
Scene yang seharusnya perlu durasi lebih lama untuk membuat penonton memahami cerita dan pendalaman karakter malah tidak ada. Atau mungkin ada, tapi saking singkatnya sampai terkesan tidak ada. Sementara scene yang seharusnya pendek dibuat lama, yang tidak perlu malah diadakan. Jadi terasa ‘ini ngapain sih?’.
Contohnya scene yang tidak perlu adalah dimana Sukma menjemput seorang gadis dan seorang anak laki-laki yang berobat ke dr. Jati. Adegan itu tidak ada pun tidak menjadi masalah, karena tidak punya efek apapun pada cerita.
Selain itu, sepanjang nonton film ini, saya tidak tahu itu gadis siapanya Sukma, si anak laki-laki itu juga siapanya si gadis. Bahkan ibu-ibu yang biasa mendandani Sukma, saya juga gagal paham itu siapanya.
Memang sih bisa saja ibu-ibu itu ibu kandung Sukma. Namun di scene lain, saat Sukma pingsan dan dibawa ke klinik dr. Jati, kemudian ‘anehnya’ dibiarkan tidur disana sendirian semalaman,si ibu-ibu yang tadinya ingin menemani bisa dengan mudah pergi. Jangan-jangan beliau cuma pelatih penarinya.
Sementara karakter dr. Jati yang seharusnya dibuat misterius mengingat dia adalah psikopat, justru terus-terusan diberikan scene yang membuka masa lalunya, bagaimana dia ‘bertarung’ dengan ketakutan masa lalunya yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Karakter Sukma juga lebih ditonjolkan visual wajahnya yang ayu dan perilakunya yang kalem. Penampilan tarinya juga biasa saja, bahkan terkesan ‘yang penting gerak’. Saat Sukma tampil, efek musik yang dibuat sedemikian ‘wow’, namun sama sekali tidak menolong.
Kesimpulan
Banyak orang yang memberikan review buruk untuk film ini. Bagi saya pribadi, film ini ‘membingungkan’ dan dibuat dengan konsep yang tidak matang. Jika harus memberi nilai, saya beri nilai 6 dari 10.
Kenapa membingungkan? Saya merasa bahwa sang sutradara menginginkan terlalu banyak hal untuk dimasukkan ke dalam film berdurasi 71 menit ini. Alhasil, filmnya tidak jelas mau menekankan apa.
Unsur budaya yang dimasukan melalui tampilan tari Lengger juga tidak maksimal. Unsur thriller yang dimasukkan juga gagal membuat penonton ‘jantungan’.
Sangat terasa bahwa sang sutradara ingin semua pemeran ‘kebagian scene’. Karakter dalam film jadi terkesan seadanya karena tidak ada pendalaman karakter. Jadinya tidak jelas sebenarnya film ini mau menyorot kisahnya siapa dan bagaimana karakternya dapat memberikan kesan dalam cerita.
Mengingat judulnya ‘Tarian Lengger Maut’, karakter Sukma terasa hanya harus ada karena judulnya. Namun perannya dalam cerita di film terasa tidak terlalu berarti. Karakter dr. Jati yang menjadi tokoh utama juga membingungkan, antara sadis, baik hati, kasihan, traumatis.
Karakter pendukung lainnya juga aktingnya terasa pas-pasan. Jika didengar dari logat Jawa ‘ngapak-nya’, mereka adalah penduduk asli yang diajak akting, jadi hal itu masih bisa diterima.
Kemudian, apa hubungannya tarian Lengger maut dengan cerita psikopat ini? Apakah benar ceritanya tentang tari Lengger yang membawa kematian? Secara spesifik sih tidak. Sang dokter tidak membunuh karena ada tarian tersebut, tidak juga membunuh para penari Lengger. Dokternya hanya jatuh cinta dengan seorang penari Lengger.
Buat kalian yang berencana menonton film ini, jangan berharap apa-apa, apalagi membandingkannya dengan film thriller internasional. Tontonlah apabila Anda ingin sekedar mengapresiasi karya anak bangsa, karena memang belum banyak film Indonesia bergenre thriller yang menceritakan tentang psikopat.