Review Film Ad Astra – Kisah Pencarian Jati Diri Yang Tak Mungkin Selesai
Tenang dan sunyi. Itulah kesan pertama yang muncul di menit awal scene Ad Astra. Tampak wajah Roy McBride (Brat Pitt) yang sedang memakai kostum astronot ditimpa cahaya matahari. Efek pembiasan cahaya pada helm yang ia kenakan perlahan memunculkan penampakan jajaran tata surya pada galaksi kita – Bima Sakti.
Kata-kata pertama yang diucapkan Roy saat melakukan tes rekam kejiwaan begitu terekam di benak saya – dia tidak peduli pada apapun dan tidak percaya siapapun. Ritme detak jantungnya pun stabil dan tenang – tidak lebih dari 80 bpm (beats per minute).
Roy adalah karakter yang sangat tenang, memiliki kualitas tinggi sebagai seorang astronot, dan berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Biasanya, seorang workaholic cenderung mengabaikan keluarganya – itulah juga yang terjadi dalam kehidupan Roy.

Setting film yang release pada September 2019 ini adalah pada masa depan dimana manusia sudah terbiasa travelling antar planet. Roy telah terbiasa bepergian ke luar angkasa, seperti ke bulan dan planet Mars. Karena kualifikasi sekaligus background-nya sebagai anak kandung dari seorang astronot legendaris – Clifford McBride (Tommy Lee Jones) membuatnya mendapatkan misi penting untuk pergi ke planet Saturnus.
Misi ini bertujuan untuk menyelamatkan bumi dan tata surya dari kehancuran, dan juga untuk menemukan ayah dari Roy yang telah lama hilang dalam sebuah misi pencarian kehidupan di planet lain (extra-terrestrial life) yang saat itu menjadi ambisi terbesar manusia bumi.
Film berdurasi 2 jam 3 menit ini membawa penonton untuk menikmati perjalanan ke luar angkasa – yang (menurut saya) biasa saja. Bukan karena efeknya yang buruk, namun karena ke-luar-biasaan-nya membuat saya ngeri untuk melakukannya. Bagaimana tidak? Bayangkan saja kita sendirian di luar angkasa, di sebuah dimensi antah berantah dimana waktu adalah sebuah relativitas, gravitasi nol, tanpa suara, dan tidak ada oksigen. I’d rather be at home.
Ad Astra – seperti halnya film-film lain yang bertemakan kehidupan astronot dengan genre fantasi – membuat penikmat film scientific merasa senang dan menikmati setiap ‘pengetahuan baru’ yang dituangkan dalam film. Bagi yang sudah pernah menonton film sejenis, seperti Interstellar, tidak akan kaget dengan plotnya yang lambat. Bagi yang baru menonton, mungkin akan mengantuk karena filmnya terkesan flat.
Film scientific akan cenderung mengajak kita menikmati betapa luasnya alam semesta dengan segala kemungkinannya. It’s kinda a nerd movie. Jadi, jangan harap ada adegan yang membuat adrenalin terpacu, atau membuat kita excited seperti menonton film petualangan biasa. Selama film diputar, hanya ada 1 scene dimana saya kaget, disaat film sudah setengah jalan. Setelah itu ya tenang lagi.
Selain fantasi, genre dari film ini juga adalah drama. Dramanya terdapat pada kisah hubungan Roy dengan istrinya, dan juga dengan ayahnya. Namun konfliknya dibuat sedemikian sederhana sehingga emosi kita tidak akan terbawa sedemikian dramatis.
Hebatnya film yang disutradarai oleh James Gray ini bisa dikemas sesantai dan selempeng itu, tapi kesan yang ditanamkan mendalam. Begitu awal film bertemu dengan akhir film, rasanya seperti dihantam kenyataan yang sudah ada, namun masih dicari-cari oleh manusia. Apalagi dari kata-kata terakhir yang diucapkan Roy saat melakukan tes rekam kejiwaan di akhir film.
Penasaran apa itu? Silahkan tonton sendiri filmnya di bioskop kesayangan anda. Hehehe. Ad Astra sangat layak untuk ditonton, dan aman dikonsumsi oleh semua kalangan penikmat film.
Film ini mendapat rating 7,2/10 dari IMDb, 83/100 dari Rotten Tomatoes, dan 80/100 dari Metacritic. Kalau dari saya pribadi sih 95/100. Semoga review ini berfaedah. Selamat menonton.
Kalau anda suka Brad Pitt, jangan lupa baca juga Review Film Once Upon A Time in Hollywood.