Fluktuasi Rasa Dan Keraguan

Tentang Perasaan Yang Tidak Menentu

Saya sering bertanya-tanya pada diri saya sendiri, “Kenapa saya harus merasakan semua ini?”, “Kenapa perasaan ini ada?”, “Sebenarnya apa sih yang saya mau?”, “Apa sih yang saya cari?”

Biasanya pertanyaan macam ini muncul saat saya sedang suwung atau nggak ngapangapain atau pas nganggur. Kalau pas sibuk ya saya hanya mikir untuk segera menyelesaikan pekerjaan dan bagaimana caranya supaya cepat selesai.

Pikiran kita otomatis mencari hal yang bisa dipikirkan saat lagi nggak ada hal lain yang perlu dipikirkan, karena – secara sadar atau tidak – kita tidak menyukai ketidak-adaan. Pas nggak ada masalah malah nyari masalah, atau hal nggak penting dijadikan penting karena nggak ada hal yang lebih penting lagi untuk dipikirkan.

Selalu saja ada hal yang membuat kita bertanya-tanya atau mempertanyakan eksistensi berbagai hal. Jika pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan, maka akan berlanjut pada sebuah ketidak-yakinan atau keraguan.

Fluktuasi Rasa Dan Keraguan | arum.me
Fluktuasi Rasa Dan Keraguan – Tentang Perasaan Yang Tidak Menentu | Photo from Pixabay

Fluktuasi Rasa

Ketika saya mencintai seseorang – katakanlah mantan kekasih saya sebagai contohnya – awalnya perasaan itu sangat menggebu. Membuncahnya rasa dalam dada membuat saya yakin kalau saya sangat mencintainya dan saya membutuhkannya untuk ada dalam hidup saya. Saya rela melakukan banyak hal demi kebahagiaanya, saya ingin selalu menghabiskan waktu bersamanya, ingin selalu membuatnya bahagia, pokoknya menjadi yang terbaik bagi dia.

Semua terasa begitu benar hingga saya menemukan suatu titik jenuh yang membuat saya tidak lagi merasakan perasaan yang sama. Tiba-tiba saya merasa bosan dengannya karena dia begitu menyebalkan. Saya jengkel dengan kebiasaan merokoknya, saya sakit hati ketika ia menaruh perhatian kepada wanita lain – yang dia bilang hanya sekedar teman, saya merasa enggan untuk bertemu dengannya, atau bahkan saya ingin mengakhiri hubungan kami.

Perasaan ini berbeda lagi kalau kita berhadapan dengan anggota keluarga. Seperti ibu saya. Saya sangat sadar bahwa beliau adalah satu-satunya manusia yang paling bisa mencintai saya tanpa syarat dan tanpa mengharap balasan apapun. Namun karena sedari bayi yang belum paham apa-apa – kita sudah mendapat perhatian dari ibu, kita seringkali menganggap remeh kasih sayangnya. Kita sering jengkel saat mendengar beliau mengomel karena tidak membereskan kamar, karena makanan tidak habis, karena tidak cuci kaki sebelum naik ke tempat tidur, dan banyak lagi. Atau saat kita mulai berani adu argumentasi dengan beliau yang berujung dengan rasa bersalah.

Semua itu normal. Perasaan yang kita miliki akan selalu berfluktuasi atau tidak tetap karena adanya goncangan dalam hidup yaitu masalah hidup. Terkadang kita ingin mendekat, kadang ingin menjauh, kadang begitu rindu, kadang biasa saja, kadang tak ingin berpisah walau sebentar, kadang tidak ingin bertemu sama sekali.

Keraguan

Seyakin-yakinnya saya mencintai seseorang, ada kalanya saya tidak mencintainya, atau bahkan ingin pergi darinya. Saat ini terjadi, saya mulai meragukan perasaan saya. “Apakah saya benar mencintai orang ini?”, “Benarkah saya akan menyerahkan sisa hidup saya kepada pria ini?”, “Sebenarnya saya sayang sama dia atau nggak sih?”

Yang ada di pikiran saya saat itu adalah kalau saya benar mencintainya, mestinya saya bersikap lembut kepadanya, mestinya saya mengatakan hal yang baik tentangnya, mestinya saya bisa menjaga perasaannya. Namun nyatanya saya bisa marah-marah padanya, merasa jengkel, mengecewakannya, dan kadang membuatnya merasa lelah dengan sikap saya.

Kenyataan Terkadang Menyakitkan

Memang benar apa kata pepatah, terkadang kita akan mengerti nilai seseorang atau sesuatu saat sudah kehilangan. Saya perlu sampai pada level kehilangan baru saya menemukan jawaban atas segala keraguan saya, dan itu sangat menyakitkan.

Saat hubungan saya dan mantan saya harus berakhir, saya merasakan sakit luar biasa – secara psikis, tapi rasa sakitnya mampu membuat saya menangis dan nggak mood ngapangapain. Perasaan sedih karena kehilangan menguasai diri saya. Apalagi kalau sudah sendirian, selalu teringat. Nyesek banget pokoknya.

Namun rasa sakit itu nggak ada apaapanya dibandingkan dengan saat saya harus menghadapi kenyataan saat ibu saya meninggal karena kanker payudara stadium terminal yang beliau derita. Penyakitnya baru diketahui 1 bulan sebelum beliau pergi, karena beliau lebih memilih untuk melupakan penyakitnya dan merahasiakannya dari keluarga.

Rasa sakit luar biasa yang saya derita mampu membuat saya kehilangan semangat hidup. Saya tidak lagi menginginkan apapun di dunia ini selain memeluk dan mencium beliau. Kehilangan beliau membuat saya menyadari bahwa tidak ada satupun orang di dunia ini yang bisa mencintai saya lebih dari beliau. Bahkan sampai saat ini saya masih merindukannya. Selalu.

Rasa Itu Masih Ada

Sekalipun saya pernah berada pada titik terjenuh, ternyata saya masih mencintai mereka dengan segenap hati dan pikiran.

Kita tidak mungkin merasa kehilangan tanpa adanya rasa memiliki.

Rasa cinta terhadap seseorang membuat kita menginginkannya dan ingin memilikinya. Menginginkannya? Iya, nggak salah lagi. Kita ingin perhatiannya hanya untuk kita, kalau terbagi dengan yang lain, ada rasa cemburu atau emosi yang muncul. Kita ingin menghabiskan waktu bersamanya dan memikirkannya saat dia tidak bersama kita.

Namun perasaan itu tidak selalu ada karena akan tertutup sementara oleh masalah-masalah kehidupan yang menguasai pikiran kita. Apalagi kita adalah manusia yang mudah merasa bosan. Namun perasaan marah, jengkel, bosan, enggan bukanlah tanda sudah tidak adanya cinta, melainkan dominasi emosi yang saat itu kita rasakan.

Percayalah, kehilangan orang terkasih akan sangat menyakitkan. Bahkan sikap buruk yang pernah kita perbuat pada mereka sebagai ungkapan emosi kita saat itu akan membuat kita menyesal pada akhirnya.

Kalau kata pakar kesehatan “lebih baik mencegah daripada mengobati” itu nggak salah. Tapi kalau untuk masalah perasaan, “lebih baik berusaha daripada menyesal nantinya”. Mungkin anda ada yang berpikir, “Ah lebay banget sih, baperan amat“. Semua kembali pada anda sendiri. Saya dulu juga nggak mengira kalau pengaruh kehilangan bisa sebesar itu.

Saya pernah bertanya pada orang-orang yang saya temui “apa hal yang paling anda sesali selama ini?” dan semua jawabannya bukanlah hal-hal yang telah mereka lakukan, tapi adalah hal yang tidak mereka lakukan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

1. Hargailah Mereka

Kebersamaan yang selalu terjalin membuat kita jarang menghargai keberadaan orang-orang terkasih yang sesungguhnya sangat berarti bagi kita. Kita bertemu mereka setiap hari, secara otomatis otak kita berpikir bahwa seterusnya akan begitu, selalu bertemu. Pikiran seperti ini membuat kita menyepelekan kehadiran mereka.

Hargailah mereka, karena mereka hanya ada satu di muka bumi ini. Kalau mereka benar pergi dari hidup kita, kita tidak akan pernah menemukan yang seperti mereka. Semua tidak akan pernah sama lagi.

2. Hargailah Waktu

Seperti yang dikatakan sebelumnya, kita sering berpikir bahwa mereka akan selalu ada dalam kehidupan kita seperti selama ini dan yakin bahwa akan begitu seterusnya. Kita sangat sadar bahwa kematian adalah suatu kepastian, yang tidak pasti adalah kapan kita akan mati. Kita tahu fakta ini tapi sering mengabaikannya.

Kenapa saya bisa bilang kalau kita sering mengabaikannya? Karena kalau kita memahaminya, kita akan bersikap lebih baik daripada biasanya, kita akan menjadi dan mengusahakan yang terbaik, tapi nyatanya tidak selalu begitu. Pernah tahu orang sekarat malah mengomeli orang-orang terdekatnya? Tidak ada. Yang ada mereka malah bersikap baik, meminta maaf atas semua kesalahan dan berterima kasih atas kebaikan orang lain. Apa mau nunggu sampai begitu baru menghargai orang lain dan waktu?

Jika berpisah karena putus, atau ditinggal pergi ke luar kota, atau tidak lagi chatting, masih bisa ditolerir. Kalau kangen, kita masih bisa telepon, chat, atau mengecek akun media sosial mereka untuk mengecek perkembangan kehidupan mereka. Tapi kalau berpisah karena mereka sudah tidak ada lagi di dunia? Kangennya sudah nggak bisa diobati dengan semudah itu.

3. Sayangi Dirimu Sendiri

Kalau kita mau melihat lebih jauh lagi ke dalam diri kita, sebenarnya dengan cukup menyayangi diri sendiri, kita akan mampu menyayangi orang lain. Hanya orang terluka yang melukai orang lain, hanya orang yang tersakiti yang menyakiti orang lain. Dan saat kita melukai atau menyakiti orang lain, secara tidak sadar, kita juga sedang menyakiti diri sendiri.

Kita adalah mahluk sosial yang akan selalu membutuhkan orang lain. Jika kita mau menyayangi diri sendiri, kita akan mampu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Author: Arum Kinasih

"this too, shall pass"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *